Di Jepang, kremasi telah menjadi metode penguburan yang paling umum, dengan hampir 99% jenazah diproses melalui kremasi. Berbeda dengan banyak tradisi penguburan di dunia, Jepang memiliki pendekatan yang unik terhadap kematian, terutama dalam hal kremasi yang sering dilakukan tanpa menggunakan peti mati untuk jangka waktu yang lama. Budaya Jepang yang kaya akan nilai-nilai spiritual dan penghormatan terhadap leluhur menjadikan kremasi sebagai ritual penting yang sarat dengan makna.
Sejarah Kremasi di Jepang
Kremasi di Jepang berakar dari pengaruh agama Buddha, yang diperkenalkan ke Jepang pada abad ke-6. Buddha mengajarkan bahwa tubuh fisik hanyalah wadah sementara bagi jiwa, dan setelah kematian, tubuh harus dihancurkan agar jiwa dapat berpindah ke alam berikutnya. Praktik kremasi di Jepang pun mulai berkembang, meskipun pada awalnya hanya dilakukan oleh biksu dan anggota kerajaan. Seiring waktu, praktik ini menjadi tradisi umum yang digunakan oleh seluruh lapisan masyarakat.
Pada periode Edo (1603-1868), kremasi mulai lebih luas diterima di Jepang, meskipun tetap dikombinasikan dengan penguburan tradisional. Namun, setelah Perang Dunia II, kremasi menjadi pilihan utama dalam penguburan di Jepang, terutama karena keterbatasan lahan pemakaman di kota-kota besar.
Kremasi Tanpa Peti Mati: Praktik dan Makna
Meskipun di Jepang jenazah ditempatkan dalam peti mati selama proses kremasi, penggunaan peti ini sering kali bersifat minimalis dan tidak ditampilkan dalam pemakaman yang mewah seperti yang terlihat di beberapa tradisi lain. Peti mati yang digunakan umumnya terbuat dari kayu sederhana dan tidak dihias mewah, mencerminkan kesederhanaan dan kepercayaan bahwa tubuh fisik hanyalah aspek sementara dari keberadaan manusia. Peti mati ini biasanya dibakar bersama jenazah, yang kemudian meninggalkan abu sebagai simbol peralihan jiwa dari dunia fisik ke alam spiritual.
Namun, di beberapa kasus tertentu, jenazah bisa saja tidak diawetkan atau ditempatkan dalam peti dalam waktu yang lama sebelum proses kremasi. Hal ini mencerminkan filosofi Jepang yang menghormati siklus alamiah kehidupan dan kematian. Bagi banyak orang Jepang, tubuh fisik dianggap tidak terlalu penting setelah kematian, sehingga proses kremasi lebih fokus pada pengembalian tubuh ke elemen dasar bumi, air, api, dan udara.
Proses Kremasi di Jepang
Setelah upacara pemakaman sederhana yang melibatkan keluarga dan kerabat, jenazah akan dibawa ke krematorium, di mana kremasi dilakukan. Jenazah yang ditempatkan dalam peti mati kayu yang sederhana kemudian dimasukkan ke dalam oven kremasi. Proses ini berlangsung selama beberapa jam hingga jenazah sepenuhnya terurai menjadi abu dan tulang.
Setelah kremasi selesai, tulang-tulang yang tersisa akan dipilah secara hati-hati oleh keluarga dengan menggunakan sumpit khusus. Proses ini dikenal sebagai kotsuage, di mana anggota keluarga secara simbolis memindahkan tulang-tulang dari jenazah ke dalam guci. Guci tersebut kemudian disimpan di rumah keluarga, di altar rumah yang disebut butsudan, atau dikuburkan di makam keluarga di kuil. Dalam tradisi ini, penghormatan terhadap sisa-sisa tubuh almarhum sangat dijaga, meskipun fokus utamanya tetap pada perpindahan roh ke alam baka.
Makna Spiritual Kremasi
Dalam budaya Jepang yang banyak dipengaruhi oleh ajaran Buddha, kepercayaan tentang karma, reinkarnasi, dan kesadaran spiritual sangat kuat. Kremasi dianggap sebagai langkah penting dalam proses pelepasan roh dari tubuh fisik dan membantu roh bertransisi ke kehidupan berikutnya. Dengan membakar tubuh, orang Jepang percaya bahwa mereka membantu roh almarhum mencapai pembebasan dari ikatan dunia fisik.
Tidak adanya fokus besar pada peti mati yang mewah atau rumit juga mencerminkan ajaran Buddha tentang ketidakmelekatan (non-attachment) pada benda-benda duniawi. Tubuh fisik dianggap sebagai bagian yang sementara dari kehidupan, sehingga setelah kematian, tubuh tersebut dilepaskan kembali ke alam melalui api. Kremasi menjadi simbol dari siklus kehidupan yang abadi: kelahiran, kematian, dan reinkarnasi.
Faktor Praktis dan Modernitas
Selain alasan spiritual, kremasi juga dipilih karena alasan praktis. Di Jepang, lahan pemakaman sangat terbatas, terutama di kota-kota besar seperti Tokyo dan Osaka. Tanah di kota-kota ini sangat mahal, dan pemerintah setempat mendorong kremasi sebagai solusi yang lebih efisien dan ramah lingkungan. Bahkan, banyak kuburan di Jepang kini menggunakan sistem kolumbarium, di mana guci abu disimpan di tempat-tempat khusus yang lebih hemat lahan daripada pemakaman tradisional.
Selain itu, sistem kremasi dianggap lebih higienis dan praktis bagi masyarakat modern Jepang. Dengan kremasi, keluarga tidak perlu mengurus pemakaman yang memakan banyak waktu dan biaya besar, dan abu almarhum dapat dengan mudah dipindahkan atau disimpan di kuil-kuil Buddha untuk disembah.